Workshop Jurnalistik Kopertis III |
“Ini hidup. Hadepin! Kamu harus berani” kata-kata kakaknya Kuggy di
film Perahu Kertas, yang selalu terngiang ditelingaku setiap kali menemukan
kerikil diperjalanan dalam hidup. Aku
terlahir di dunia ini tidak sendirian, namun bersama bakat dan
kemampuan. Aku bukanlah orang yang rajin belajar, bahkan urat bacaku pun masih lemah. Aku bukanlah orang yang ketika diberi
tugas lantas akan langsung
kukerjakan saat itu juga.
Aku bukanlah orang yang berlomba-lomba ingin namanya dicantumkan di makalah atau proposal sebagai
sekertaris atau lain-lain. Aku bukan orang yang sering diperhatikan guru-guru atau dosen. Hanya
siswa biasa, wajar-wajar saja. Tapi
siapa sangka, pengalaman yang aku dapatkan diluar
telah membimbingku kepada sesuatu yang lebih bermakna.
Beberapa waktu lalu aku
harus merelakan nilai UTS ku sirna untuk
sebuah perjalanan menuju pengalaman yang belum tentu semua orang bisa dapatkan.
Banyak orang yang bilang aku cari mati karena berani izin di mata kuliah yang
bisa dibilang “important” dan memilih mengikuti pelatihan
dan lomba liputan di Bogor. Dosennya sendiri sudah wanti-wanti soal resiko yang akan aku dapatkan jika tidak ikut UTS mata kuliahnya.
Seminggu setelahnya benarlah terjadi,
ancaman beliau yang memang enggan memberi UTS susulan
meskipun aku sudah overacting mohon-mohon. Aku
tidak pernah menyesal, justru ada kebanggaan tersendiri bisa keluar dari
rutinitas yang ada, untuk pengalaman yang entah kapan lagi bisa aku dapatkan. Kakak tingkatku bilang “ enggak apa-apa Sal, itu namanya kamu melawan arus, karena cuma ikan
mati yang selalu mengikuti arus.”
Di Bogor, aku mendapatkan semua yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Teman-temanku bertambah. Dari berbagai macam Universitas, dengan corak kultur dan watak yang berbeda. Pengetahuan yang beraneka ragamnya, membuat loker-loker di otakku semakin banyak terbuka. Akupun berkenalan dengan para wartawan terkemuka. Tegur sapa dengan para fotografer koran ternama. Dan aku mulai menemukan kehidupan diluar, membacanya, lalu memahaminya, dan menuliskannya dalam keseharianku. Tak sesulit yang ku bayangkan, justru menyenangkan. Banyak hal yang aku temukan. Bahkan kesulitan-kesulitan yang mengapitku, menggodaku. Mungkin agar aku menyerah dan kapok dengan situasi ini.
Nilai UTS ku nihil, membuatku
harus berjuang lebih ketika UAS, dan Alhamdulillah nilainya berhasil menutupi
nilai UTS ku yang kosong. Dan ternyata nilaiku tak lebih buruk dari teman-teman
lainnya yang selalu hadir di kelas. Dosenku pun jadi lebih dekat denganku
karena terlalu seringnya beliau aku temui. Dan kata-kata beliau yang selalu aku
ingat, ketika beliau bilang kepada teman-temanku yang mendapat nilai UTS kurang
baik “ enggak apa-apa nilainya jelek
juga. Salma, enggak ada nilai UTS nya.”. dan saat itu, perasaanku seperti
terkena bom nuklir. Hancur. Tapi, tidak jadi masalah, ini pelajaran. Perasaan
tak boleh terus di alem-alem, supaya kuat, supaya lapang, dan kokoh. Toh, ini
justru jadi cambukan untukku. Agar makin berani, berani buktiin. Kalau belajar
itu bisa dimana saja dan dengan siapa saja. Belajar untuk hidup. Belajar
menemukan arti pengalaman yang sebenarnya.
Pengalaman adalah guru
terbaik. Meskipun terasa menyesakkan, namun membuatku belajar. Dan itulah cara Allah menyayangi hambaNya,
memberikan sesuatunya dengan cara yang indah namun tak mudah.
Tidak
semudah membalikkan telapak
tangan, agar hambaNya menjadi mujahid yang di dambakan, yang tidak manja, tidak semau-mau
dan tidak gampang ngeluh. That’s all. Fastabiqul
Khairat.
Experience is the best teacher.