Senin, 03 Maret 2014

"Doblang"

Posted by Unknown at 18.22.00
kita harus berusaha hidup dalam kebijaksanaan,
yang melihat diri kita dalam semua,
dan semua dalam diri kita

Doblang, sore-sore gini lagi seneng-senengnya menjingkrung didalam sarung sambil ngopi.  Sembari nunggu bidadarinya lewat depan rumah terus ngomong “ gak ke masjid kang ?”, baru dia beranjak dari duduknya.

“eh, iya neng”


Namanya Zakia, anak Pak Hamzah dokter yang jadi volunteer diklinik kampung sebelah. Hobinya nemenin ayahnya bantu-bantu warga yang membutuhkan. Itu jelas bikin Doblang “klepek-klepek”.

“eh blang, tong ngalamun wae maneh. Geura mangkat ka Masjid.”Sorak Majid kawan seperlawanan Doblang. Majid dan Doblang sudah berkerabat dekat sejak SD. Tapi semakin mereka bersama semakin samalah mereka. Sampai masalah hati juga mereka selalu sama. Jadi mereka engga bisa saling curhat soal perempuan. Ujung-ujungnya pasti yang diceritain sama.

“iya Jid, ini juga mau berangkat. Udah dipanggil sama neng geulis tadi.”
“saha ? neng Zakia lain?”
“saha weh atuh, hayang nyaho wae maneh lah.”
“yeh, maneh lamun ditanya.”

Doblang segera masuk ke dalam, lekas berganti pakaian dan beranjak ke Masjid yang disusul oleh Majid.

Di muka halaman masjid, Doblang dan Majid bertemu dengan Pak Hamzah ayah Zakia. Keduanya berebutan bersalaman.
Adzan sudah diserukan, ketiganya memasuki Masjid bersama. Selesai adzan berkumandang, Doblang didorong oleh jamaah untuk menjadi Imam. Awalnya Doblang nolak, tapi dia inget ada Zakia di belakang. Lantas dengan sigap Doblang ambil posisi.

Selesai sholat berjamaah ada tausyiah sembari menunggu Isya. Majid yang isi kajian. Doblang sudah mikir yang engga-engga. Takut-takut si Majid cari perhatian ke si Zakia. 
Sepulangnya, Doblang sengaja lama-lamain di dalam Masjid nungguin pak Hamzah, supaya bisa pulang bareng Zakia. Majid sudah pulang duluan.

Doblang lagi cari taktik buat deketin pak Hamzah. Sambil salaman, Doblang ngajak pak Hamzah ngobrol bareng. Engga lama Zakia keluar. Ini dia yang ditunggu-tunggu akhirnya nongol. Zakia salaman sama ayahnya. Terus kasih senyum ke Doblang. Doblang yang ngeliat jelas meleleh lah. Kalo gapunya urat malu, dia udah mau koprol saat itu juga.

Di sepanjang perjalanan pulang, Doblang cuma bisa nunduk, maksudnya sih mau jaga pandangan. Padahal nervous tuh. Doi bisa grogi juga ternyata.

“ kamu lagi sibuk apa blang?” tanya pak Hamzah
“lagi sibuk cari rezeki pak, buat kuliah”
“oh, kerja apa blang? “
“hehe, cuma buka usaha jasa sablon bareng temen pak.”
“oh, planning kuliah mau ambil jurusan apa ? dimana ?”
“kuliahnya mah dimana aja pak. Rencananya mau ambil jurusan melukis.”
“kamu suka lukis?”
“muhun pak.”
“sama dong kayak saya”
“oh, Alhamdulillah atuh.”
“hahaha. Kapan-kapan mampir ya. Kita ngelukis bareng.”
“pasti pak, pasti”

Doblang merasa dewa keberuntungan lagi ada dipihaknya malam ini. Sampe dia enggak sadar udah sampe di kontrakan. Untung engga kelewat.

“pak Hamzah, Zakia mari mampir dulu.”
“iya terima kasih” jawab keduanya.

Di dalam Doblang menjumpai Majid yang sedang asik ngisi TTS. “lama gening maneh?”
“ngobrol dulu tadi jid.”

Doblang menyegerakan langkahya menuju kamar. Merapihkan perkakas untuk kerja esok. Lalu menyempatkan diri berwudhu, dan sholat dua rokaat sebelum tidur. Didalam dialognya dengan Sang Gusti dia menyelipkan nama Zakia diantara doa-doanya. Karena sejatinya Doblang begitu paham terhadap kekuasaan yang mutlak. Hanya kepada Penggenggam jiwanyalah dia mewakilkan semuanya.

Esok paginya Doblang terjaga tepat saat adzan shubuh berkumandang. Langkahnya dipercepat memburu waktu yang kerap berputar. Sambil membangunkan Majid yang masih pulas, Doblang lekas mengganti pakaian tidurnya dengan baju koko.

“Jid, hudang. Sudah Shubuh.”

Majid terkaget sebentar, langsung pergi ke kamar mandi, sampai tak sempat mengumpulkan nyawa dulu.

“urang tiheula nya jid.”
“sok blang.”

Doblang berjalan tergesa, lalu ia teringat perkataan gurunya; ketergesa-gesaan adalah perilaku setan. Jadi dia berusaha tenang. Pas, selesai ikomat Doblang sampai di halaman Masjid. “Alhamdulillah.”

Pak Hamzah yang menjadi Imam shubuh ini. Seperti biasa selesai sholat ada tausiyah dulu. Kebetulan anak muda yang hadir shubuh ini hanya Doblang seorang. Dengan sukarela dia maju kedepan dan menyampaikan tausiahnya.

Doblang menyampaikan tausiyahnya mengenai keberadaan manusia saat ini.

“kita harus berusaha hidup dalam kebijaksanaan, yang melihat diri kita dalam semua, dan semua dalam diri kita….” Ya kira-kira begitulah tausiyahnya.

Waktu sudah menunjukan pukul enam. Doblang bergegas pulang dan bersiap-siap bekerja. Diperjalanan menuju tempat kerja dia bertemu dengan pak Hamzah dan Zakia.

“brangkat blang?” tegur pak Hamzah
“iya pak, neng.” Doblang so-soan nyapa Zakia
“iya kang.”
“duluan ya pak, neng.”
“hati-hati ya blang.”
“hati-hati kang.”

Ditempat kerja doblang disodorkan amplop coklat besar.

“apaan ini cep ?” tanya Doblang pada cecep teman kerjanya.
“gatau, buka aja blang.”

Doblang membuka amplop tersebut dengan penasaran. Amplop itu tidak tertera alamat pengirimnya.

“kamu dapet dari mana cep?”
“dari akang-akang pake baju seragam rapih. Gatau atuh siapa.”

Doblang membaca isi tulisan diselembar kertas dari dalam amplop. Ternyata dari IKJ. Doblang diterima sebagai Mahasiswa disana.

“subhanallah, Alhamdulillah.”
“kenapa?kenapa blang? Kamu menang undian sabun cuci ya ?”
“yeeeh, bukan cecep. Ini saya diterima di IKJ.” Sambil menunjukan kertas tersebut ke wajah cecep.
“hah, yang bener? Alhamdulillah atuh.”
“iya cep, Alhamdulillah.” Sorak Doblang girang.

Sorenya ketika pulang ke kontrakan, Doblang yang biasanya nyepi tiba-tiba rusuh menghampiri Majid yang lagi nyapu halaman kontrakan.

“kunaon maneh blang? Kasambet?”
“yeeeh, ari maneh. Urang keur seneng yeuh.”
“naon-naon? Menang lotre?”
“blegug sia teh ah. Urang diterima di IKJ Jid.”
“ah, piraku? Alhamdulillah..”
“haha, Alhamdulillah..”

Tiba-tiba Majid diam. Membisu. Bungkam.

“eh kunaon Jid? Icing wae?”
“maneh diterima di IKJ, meren urang sorangan nya di dieu ?”
“yeeh Jid, maneh kan aya kerjaan di dieu. Tong sedih kitu ah. goreng.”

Perbincangan mereka terhenti oleh teguran Zakia yang melewati mereka.

“kang ..enggak ke masjid?”
“eh, iya neng” jawab keduanya serempak.

Seketika keduanya berebut masuk kedalam.

“Hayya ‘alaasholaahh…” adzan di masjid telah menyusuri indra pendengaran.
Seperti biasa kegiatan berlangsung sebagaimana mestinya. Tausiyah diisi oleh Majid yang telah menjadi nara sumber sukarela. Diakhir tausiyahnya, tanpa disangka Majid mengumumkan keberhasilan Doblang yang diterima sebagai mahasiswa di IKJ. Dengan wajah malu-malu lalu malu-maluin, Doblang tersenyum. Jamaah seketika mengucapkan Alhamdulillah bersamaan.

Sepulangnya, seperti biasa Majid pulang duluan.Doblang salam-salaman dulu dengan jamaah lainnya. Pak Hamzah yang merasa telah dekat dengan Doblang berusaha berdialog dulu dengannya.

“selamat ya blang. Doamu diijabah.”
“Alhamdulillah pak.”
“kapan mampir ke rumah, saya mau lihat kamu melukis blang.”
“ah, bapak. Kapan aja saya bisa pak. Saya usahain.”
“sekarang aja atuh kang, mampir.” Ajak Zakia sambil mencium tangan ayahnya.
“hehe, iya neng. Bisa.”
“selamat ya kang. Udah jadi mahasiswa sekarang.”
“iya neng makasih.” Jawab Doblang so manis.

Doblang pulang ke kontrakan, langsung ganti baju. Lalu pamit ke Majid.

“urang rek ka imahna pak Hamzah Jid. Milu moal maneh?”
“rek naon uy?”
“diundang pak Hamzah. Rek diajak ngalukis Jid.”
“bilang weh rek PDKT ka neng Zaki.”
“yeeeh si Majid mah.”
“he’euh lah, suksesnya. Urang rek ngisi TTS, keur sibuk.”

Doblang enggak enak hati sebenernya. Tapi dia tetap pergi. Mungkin kali ini pilihannya berbeda dengan Majid. Dan inilah yang membuat Doblang yakin, bahwa Zakia calon seutuhnya tanpa harus berebut dengan Majid yang jelas-jelas kawan.

Dirumah pak Hamzah majid diperlakukan begitu baik. Majid diajak berkeliling bengkel seninya pak Hamzah yang segede alaihum gambreng. Diruang tamu, Doblang banyak berbincang soal pameran lukisan di Indonesia. Zakia muncul dari dalam membawa minuman dan makanan ringan. Lalu masuk lagi tak lama setelahnya.

“Zakia suka melukis juga pak?”
“enggak, Zakia cuma suka lukisan. tapi dia enggan melukis. Haha”
“hmm, pak. Kalo istri bapak suka melukis ?”
“haha, istri saya sama kayak Zakia. Cuma jadi penikmat aja.”
“oh, ibu suka lukisan-lukisan bapak kalo gitu ya?”
“jelas blang, ibu suka sama saya karena liat saya melukis. Terpesona dia. Haha.”
“haha, kira-kira kalo saya yang melukis sama mempesonanya engga ya kayak bapak ?”
“yaa, pelukis itu selalu terlihat mempesona dimata penikmatnya blang.”
“hmm.. kalo gitu, kalo saya lagi melukis kira-kira Zakia terpesona engga ya pak ?”
“ohh.. hahaha. Kalo itu, kamu tanya aja sendiri sama orangnya blang.”
“ahaha, bapak bisa aja nih.”

Perasaan Doblang lagi engga karuan sekarang. Jantungnya barusan loncat waktu berkata-kata. Namun tak sia-sia, Doblang merasakan rambu hijau menghampirinya.

Sebulan sebelum keberangkatannya ke Jakarta, hampir setiap hari Doblang kerumah pak Hamzah. Niatnya sih berlatih melukis, tapi sekalian ngedeketin calon mertua. Taktik Doblang mencuri hati pak Hamzah dan bu Hamzah pun menuaikan hasil. Buahnya manis pula. Mudah mendapatkan Zakia kalo orang tuanya sudah ditangan.

Dihari keberangkatannya ke Jakarta Doblang pamit ke Majid, ke cecep, ke tetangga-tetangga, ke pak marbot, pak RT, RW, Lurah, dan sejenisnya. Terakhir dia pamit ke keluarga pak Hamzah. Minta izin ingin berangkat menjemput ilmu sekaligus izin menjemput permaisurinya kelak.

“hahaha, Doblang-Doblang. Kamu tenang aja. Zakia bapak simpen kok sampe kamu pulang.”
“hehe, si bapak mah. Ada-ada ajah.” Doblang malu-malu, berusaha enggak malu-maluin.
“hati-hati ya nak Doblang.” Seru bu Hamzah seraya mengelus pundak Doblang.
“iya bu, nuhun. Neng akang pamit ya.” wajah Doblang pias.
“iya kang, hati-hati.”  Zakia tersenyum. Bikin Doblang bête mengingat nanti akan sulit nemuin senyum Zakia.

Seusai pamit dari keluarga Pak Hamzah, Doblang pamit kepada kedua orang tuanya yang bermukim cukup jauh dari kontrakannya.

Setelah rampung, Doblang berangkat ke Jakarta dengan hati yang bersujud serta doa-doa yang mengudara. Berjuang dalam kebijaksanaan;melihat dirinya dalam semua, dan semua dalam dirinya.

Rampung on Tuesday, March 04, 2014 03:45 am
Comments
0 Comments

0 comments:

Posting Komentar

 

KataKita Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos