kita
harus berusaha hidup dalam kebijaksanaan, yang melihat diri kita dalam semua, dan semua dalam diri kita |
Doblang, sore-sore gini lagi seneng-senengnya menjingkrung
didalam sarung sambil ngopi. Sembari
nunggu bidadarinya lewat depan rumah terus ngomong “ gak ke masjid kang ?”,
baru dia beranjak dari duduknya.
“eh, iya neng”
Namanya Zakia, anak Pak Hamzah dokter yang jadi volunteer
diklinik kampung sebelah. Hobinya nemenin ayahnya bantu-bantu warga yang
membutuhkan. Itu jelas bikin Doblang “klepek-klepek”.
“eh blang, tong ngalamun wae maneh. Geura mangkat ka
Masjid.”Sorak Majid kawan seperlawanan Doblang. Majid dan Doblang sudah
berkerabat dekat sejak SD. Tapi semakin mereka bersama semakin samalah mereka.
Sampai masalah hati juga mereka selalu sama. Jadi mereka engga bisa saling
curhat soal perempuan. Ujung-ujungnya pasti yang diceritain sama.
“iya Jid, ini juga mau berangkat. Udah dipanggil sama neng
geulis tadi.”
“saha ? neng Zakia lain?”
“saha weh atuh, hayang nyaho wae maneh lah.”
“yeh, maneh lamun ditanya.”
Doblang segera masuk ke dalam, lekas berganti pakaian dan
beranjak ke Masjid yang disusul oleh Majid.
Di muka halaman masjid, Doblang dan Majid bertemu dengan Pak
Hamzah ayah Zakia. Keduanya berebutan bersalaman.
Adzan sudah diserukan, ketiganya memasuki Masjid bersama. Selesai
adzan berkumandang, Doblang didorong oleh jamaah untuk menjadi Imam. Awalnya
Doblang nolak, tapi dia inget ada Zakia di belakang. Lantas dengan sigap
Doblang ambil posisi.
Selesai sholat berjamaah ada tausyiah sembari menunggu Isya.
Majid yang isi kajian. Doblang sudah mikir yang engga-engga. Takut-takut si
Majid cari perhatian ke si Zakia.
Sepulangnya, Doblang sengaja lama-lamain di
dalam Masjid nungguin pak Hamzah, supaya bisa pulang bareng Zakia. Majid sudah
pulang duluan.
Doblang lagi cari taktik buat deketin pak Hamzah. Sambil
salaman, Doblang ngajak pak Hamzah ngobrol bareng. Engga lama Zakia keluar. Ini
dia yang ditunggu-tunggu akhirnya nongol. Zakia salaman sama ayahnya. Terus
kasih senyum ke Doblang. Doblang yang ngeliat jelas meleleh lah. Kalo gapunya
urat malu, dia udah mau koprol saat itu juga.
Di sepanjang perjalanan pulang, Doblang cuma bisa nunduk, maksudnya
sih mau jaga pandangan. Padahal nervous tuh. Doi bisa grogi juga ternyata.
“ kamu lagi sibuk apa blang?” tanya pak Hamzah
“lagi sibuk cari rezeki pak, buat kuliah”
“oh, kerja apa blang? “
“hehe, cuma buka usaha jasa sablon bareng temen pak.”
“oh, planning kuliah mau ambil jurusan apa ? dimana ?”
“kuliahnya mah dimana aja pak. Rencananya mau ambil jurusan
melukis.”
“kamu suka lukis?”
“muhun pak.”
“sama dong kayak saya”
“oh, Alhamdulillah atuh.”
“hahaha. Kapan-kapan mampir ya. Kita ngelukis bareng.”
“pasti pak, pasti”
Doblang merasa dewa keberuntungan lagi ada dipihaknya malam ini.
Sampe dia enggak sadar udah sampe di kontrakan. Untung engga kelewat.
“pak Hamzah, Zakia mari mampir dulu.”
“iya terima kasih” jawab keduanya.
Di dalam Doblang menjumpai Majid yang sedang asik ngisi TTS. “lama gening maneh?”
“ngobrol dulu tadi jid.”
Doblang menyegerakan langkahya menuju kamar. Merapihkan
perkakas untuk kerja esok. Lalu menyempatkan diri berwudhu, dan sholat dua
rokaat sebelum tidur. Didalam dialognya dengan Sang Gusti dia menyelipkan nama
Zakia diantara doa-doanya. Karena sejatinya Doblang begitu paham terhadap
kekuasaan yang mutlak. Hanya kepada Penggenggam jiwanyalah dia mewakilkan semuanya.
Esok paginya Doblang terjaga tepat saat adzan shubuh
berkumandang. Langkahnya dipercepat memburu waktu yang kerap berputar. Sambil
membangunkan Majid yang masih pulas, Doblang lekas mengganti pakaian tidurnya
dengan baju koko.
“Jid, hudang. Sudah Shubuh.”
Majid terkaget sebentar, langsung pergi ke kamar mandi,
sampai tak sempat mengumpulkan nyawa dulu.
“urang tiheula nya jid.”
“sok blang.”
Doblang berjalan tergesa, lalu ia teringat perkataan
gurunya; ketergesa-gesaan adalah perilaku setan. Jadi dia berusaha tenang. Pas,
selesai ikomat Doblang sampai di halaman Masjid. “Alhamdulillah.”
Pak Hamzah yang menjadi Imam shubuh ini. Seperti biasa
selesai sholat ada tausiyah dulu. Kebetulan anak muda yang hadir shubuh ini
hanya Doblang seorang. Dengan sukarela dia maju kedepan dan menyampaikan
tausiahnya.
Doblang menyampaikan
tausiyahnya mengenai keberadaan manusia saat ini.
“kita harus berusaha hidup dalam kebijaksanaan, yang melihat
diri kita dalam semua, dan semua dalam diri kita….” Ya kira-kira begitulah
tausiyahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul enam. Doblang bergegas pulang
dan bersiap-siap bekerja. Diperjalanan menuju tempat kerja dia bertemu dengan
pak Hamzah dan Zakia.
“brangkat blang?” tegur pak Hamzah
“iya pak, neng.” Doblang so-soan nyapa Zakia
“iya kang.”
“duluan ya pak, neng.”
“hati-hati ya blang.”
“hati-hati kang.”
Ditempat kerja doblang disodorkan amplop coklat besar.
“apaan ini cep ?” tanya Doblang pada cecep teman kerjanya.
“gatau, buka aja blang.”
Doblang membuka amplop tersebut dengan penasaran. Amplop itu
tidak tertera alamat pengirimnya.
“kamu dapet dari mana cep?”
“dari akang-akang pake baju seragam rapih. Gatau atuh
siapa.”
Doblang membaca isi tulisan diselembar kertas dari dalam
amplop. Ternyata dari IKJ. Doblang diterima sebagai Mahasiswa disana.
“subhanallah, Alhamdulillah.”
“kenapa?kenapa blang? Kamu menang undian sabun cuci ya ?”
“yeeeh, bukan cecep. Ini saya diterima di IKJ.” Sambil
menunjukan kertas tersebut ke wajah cecep.
“hah, yang bener? Alhamdulillah atuh.”
“iya cep, Alhamdulillah.” Sorak Doblang girang.
Sorenya ketika pulang ke kontrakan, Doblang yang biasanya
nyepi tiba-tiba rusuh menghampiri Majid yang lagi nyapu halaman kontrakan.
“kunaon maneh blang? Kasambet?”
“yeeeh, ari maneh. Urang keur seneng yeuh.”
“naon-naon? Menang lotre?”
“blegug sia teh ah. Urang diterima di IKJ Jid.”
“ah, piraku? Alhamdulillah..”
“haha, Alhamdulillah..”
Tiba-tiba Majid diam. Membisu. Bungkam.
“eh kunaon Jid? Icing wae?”
“maneh diterima di IKJ, meren urang sorangan nya di dieu ?”
“yeeh Jid, maneh kan aya kerjaan di dieu. Tong sedih kitu
ah. goreng.”
Perbincangan mereka terhenti oleh teguran Zakia yang
melewati mereka.
“kang ..enggak ke masjid?”
“eh, iya neng” jawab keduanya serempak.
Seketika keduanya berebut masuk kedalam.
“Hayya ‘alaasholaahh…” adzan di masjid telah menyusuri indra
pendengaran.
Seperti biasa kegiatan berlangsung sebagaimana mestinya.
Tausiyah diisi oleh Majid yang telah menjadi nara sumber sukarela. Diakhir
tausiyahnya, tanpa disangka Majid mengumumkan keberhasilan Doblang yang
diterima sebagai mahasiswa di IKJ. Dengan wajah malu-malu lalu malu-maluin,
Doblang tersenyum. Jamaah seketika mengucapkan Alhamdulillah bersamaan.
Sepulangnya, seperti biasa Majid pulang duluan.Doblang
salam-salaman dulu dengan jamaah lainnya. Pak Hamzah yang merasa telah dekat
dengan Doblang berusaha berdialog dulu dengannya.
“selamat ya blang. Doamu diijabah.”
“Alhamdulillah pak.”
“kapan mampir ke rumah, saya mau lihat kamu melukis blang.”
“ah, bapak. Kapan aja saya bisa pak. Saya usahain.”
“sekarang aja atuh kang, mampir.” Ajak Zakia sambil mencium
tangan ayahnya.
“hehe, iya neng. Bisa.”
“selamat ya kang. Udah jadi mahasiswa sekarang.”
“iya neng makasih.” Jawab Doblang so manis.
Doblang pulang ke kontrakan, langsung ganti baju. Lalu pamit
ke Majid.
“urang rek ka imahna pak Hamzah Jid. Milu moal maneh?”
“rek naon uy?”
“diundang pak Hamzah. Rek diajak ngalukis Jid.”
“bilang weh rek PDKT ka neng Zaki.”
“yeeeh si Majid mah.”
“he’euh lah, suksesnya. Urang rek ngisi TTS, keur sibuk.”
Doblang enggak enak hati sebenernya. Tapi dia tetap pergi.
Mungkin kali ini pilihannya berbeda dengan Majid. Dan inilah yang membuat
Doblang yakin, bahwa Zakia calon seutuhnya tanpa harus berebut dengan Majid
yang jelas-jelas kawan.
Dirumah pak Hamzah majid diperlakukan begitu baik. Majid
diajak berkeliling bengkel seninya pak Hamzah yang segede alaihum gambreng.
Diruang tamu, Doblang banyak berbincang soal pameran lukisan di Indonesia.
Zakia muncul dari dalam membawa minuman dan makanan ringan. Lalu masuk lagi tak
lama setelahnya.
“Zakia suka melukis juga pak?”
“enggak, Zakia cuma suka lukisan. tapi dia enggan melukis.
Haha”
“hmm, pak. Kalo istri bapak suka melukis ?”
“haha, istri saya sama kayak Zakia. Cuma jadi penikmat aja.”
“oh, ibu suka lukisan-lukisan bapak kalo gitu ya?”
“jelas blang, ibu suka sama saya karena liat saya melukis.
Terpesona dia. Haha.”
“haha, kira-kira kalo saya yang melukis sama mempesonanya
engga ya kayak bapak ?”
“yaa, pelukis itu selalu terlihat mempesona dimata
penikmatnya blang.”
“hmm.. kalo gitu, kalo saya lagi melukis kira-kira Zakia
terpesona engga ya pak ?”
“ohh.. hahaha. Kalo itu, kamu tanya aja sendiri sama
orangnya blang.”
“ahaha, bapak bisa aja nih.”
Perasaan Doblang lagi engga karuan sekarang. Jantungnya barusan
loncat waktu berkata-kata. Namun tak sia-sia, Doblang merasakan rambu hijau
menghampirinya.
Sebulan sebelum keberangkatannya ke Jakarta, hampir setiap
hari Doblang kerumah pak Hamzah. Niatnya sih berlatih melukis, tapi sekalian
ngedeketin calon mertua. Taktik Doblang mencuri hati pak Hamzah dan bu Hamzah
pun menuaikan hasil. Buahnya manis pula. Mudah mendapatkan Zakia kalo orang
tuanya sudah ditangan.
Dihari keberangkatannya ke Jakarta Doblang pamit ke Majid,
ke cecep, ke tetangga-tetangga, ke pak marbot, pak RT, RW, Lurah, dan
sejenisnya. Terakhir dia pamit ke keluarga pak Hamzah. Minta izin ingin
berangkat menjemput ilmu sekaligus izin menjemput permaisurinya kelak.
“hahaha, Doblang-Doblang. Kamu tenang aja. Zakia bapak
simpen kok sampe kamu pulang.”
“hehe, si bapak mah. Ada-ada ajah.” Doblang malu-malu,
berusaha enggak malu-maluin.
“hati-hati ya nak Doblang.” Seru bu Hamzah seraya mengelus
pundak Doblang.
“iya bu, nuhun. Neng akang pamit ya.” wajah Doblang pias.
“iya kang, hati-hati.”
Zakia tersenyum. Bikin Doblang bête mengingat nanti akan sulit nemuin
senyum Zakia.
Seusai pamit dari keluarga Pak Hamzah, Doblang pamit kepada
kedua orang tuanya yang bermukim cukup jauh dari kontrakannya.
Setelah rampung, Doblang berangkat ke Jakarta dengan hati
yang bersujud serta doa-doa yang mengudara. Berjuang dalam
kebijaksanaan;melihat dirinya dalam semua, dan semua dalam dirinya.
Rampung on Tuesday, March 04, 2014 03:45 am