Tulisan ini adalah sebuah analisis sosial (harusnya), tapi saya bingung
harus bagaimana menulisnya. Jadi saya buat tulisan ini semata menceritakan
pengalaman saya dan teman-teman berlibur di sebuah perkampungan binaan IMM, di
Kerawang.
Kamis, 12 Juli 2013 kami tiba diperkampungan yang dikenal dengan nama
Sinapeul pada pukul 21.30 WIB.
Telah banyak
halang rintang yang kami lewati. Dalam gelap tengah malam , dicabik bebatuan,
didorong arus sungai,”dingin”.
Tapi itu
semua bukan masalah sih buat kami, hal terpenting adalah kami cepat sampai ke
tempat tujuan. Lelah memang, tapi mau gimana ?
Saat sampai,
kesan pertama yang saya punya adalah bangga karena telah menginjakkan kaki saya
disini.
Tempat yang
dihuni banyak pepohonan, hutan, dan hewan ternak. Tanpa banyak lampu dan
sedikit listrik. Jadi kesannya kami lalu lalang dalam siluet gitu deh.
Perkampungan
ini cukup jauh dari keramaian, dan kondisi jalanan yang rusak membuat
penghuninya agak terisolir.
Rasa lelah hilang ketika saya dan ketiga teman saya memasuki sebuah
tempat tinggal warga yang cukup elit (menurut saya). Ada bapak yang murah
senyum dan ummi yang kesulitan berkomunikasi dengan kami karena kurang mengerti
bahasa Indonesia. Bapak dan ummi punya anak namanya teh Cici, dia seumuran
dengan kami, tapi sudah berumah tangga. Teh Cici bilang kalau dia mau kuliah
seperti kami. Sebab tak ada biaya dia memilih menikah muda.
Tapi menurut saya,keluarga ini berkecukupan. Disini ada Televisi, kompor,
motor, lampu, dan anak-anak ummi yang paling bungsupun sudah pegang gadget
canggih.
Berbeda dengan keluarga yang lain. Emak misalnya, ibu dari Boni serta
nenek dari Farid dan Ahmad. Suatu siang saya bertemu beliau sedang menjemur
gabah. Saya sedikit bertanya-tanya tentang kehidupan disini kepada emak.
Sebelumnya, emak tinggal di kampung halaman suaminya di Pakis,dan pindah ke
Sinapeul sekitar 8 tahun yang lalu. Kehidupan emak disini agak sulit, karena beliau
harus bekerja seorang diri. Emak bilang “harga beras disini mahal, bapak udah
tua, udah enggak bisa kerja berat buat cari nafkah.”
Beruntung emak fasih berbahasa Indonesia, jadi kami bisa lancar
ngobrolnya.
Emak juga
bilang kalau beliau sering jadi kuli untuk cari nafkah. Mulai dari yang ringan
sampai yang terberat. Demi Boni, Farid dan Ahmad, katanya.
Boni sudah masuk sekolah dasar. Walaupun sangat jauh, anak-anak disini tidak ter-demotivasi untuk tetap sekolah. Emak juga bilang sempat
dapat BLT dari pemerintah, lalu uangnya emak gunakan untuk membeli alat tulis
untuk Boni.
Semoga perbedaan
ini tidak menjadikan adanya elitisme disini, amin.
Dan menurut cerita teman-teman yang sudah saya dengar, sebenarnya masih
banyak sosok seperti emak.
Ironi kan ?
Angka pertumbuhan ekonomi bagus,
tapi kesenjangan dan kemiskinan juga marak.
(Sepertinya hati saya tertinggal di pucuk daun-daun cemara, dan
jejak kaki saya yang pernah saya rendam di pinggiran kali yang
tenang, dan ingatan yang saya simpan disebuah ceruk rengkah batu bata rumah,
membuat saya ingin kembali lagi kesana)