Rabu, 06 November 2013

Analisis Sosial at Cicawu

Posted by Unknown at 22.43.00

Tulisan ini adalah sebuah analisis sosial (harusnya), tapi saya bingung harus bagaimana menulisnya. Jadi saya buat tulisan ini semata menceritakan pengalaman saya dan teman-teman berlibur di sebuah perkampungan binaan IMM, di Kerawang.
Kamis, 12 Juli 2013 kami tiba diperkampungan yang dikenal dengan nama Sinapeul pada pukul 21.30 WIB.
Telah banyak halang rintang yang kami lewati. Dalam gelap tengah malam , dicabik bebatuan, didorong arus sungai,”dingin”.
Tapi itu semua bukan masalah sih buat kami, hal terpenting adalah kami cepat sampai ke tempat tujuan. Lelah memang, tapi mau gimana ?
Saat sampai, kesan pertama yang saya punya adalah bangga karena telah menginjakkan kaki saya disini.
Tempat yang dihuni banyak pepohonan, hutan, dan hewan ternak. Tanpa banyak lampu dan sedikit listrik. Jadi kesannya kami lalu lalang dalam siluet gitu deh.
Perkampungan ini cukup jauh dari keramaian, dan kondisi jalanan yang rusak membuat penghuninya agak terisolir.
Rasa lelah hilang ketika saya dan ketiga teman saya memasuki sebuah tempat tinggal warga yang cukup elit (menurut saya). Ada bapak yang murah senyum dan ummi yang kesulitan berkomunikasi dengan kami karena kurang mengerti bahasa Indonesia. Bapak dan ummi punya anak namanya teh Cici, dia seumuran dengan kami, tapi sudah berumah tangga. Teh Cici bilang kalau dia mau kuliah seperti kami. Sebab tak ada biaya dia memilih menikah muda.
Tapi menurut saya,keluarga ini berkecukupan. Disini ada Televisi, kompor, motor, lampu, dan anak-anak ummi yang paling bungsupun sudah pegang gadget canggih.

Berbeda dengan keluarga yang lain. Emak misalnya, ibu dari Boni serta nenek dari Farid dan Ahmad. Suatu siang saya bertemu beliau sedang menjemur gabah. Saya sedikit bertanya-tanya tentang kehidupan disini kepada emak. Sebelumnya, emak tinggal di kampung halaman suaminya di Pakis,dan pindah ke Sinapeul sekitar 8 tahun yang lalu. Kehidupan emak disini agak sulit, karena beliau harus bekerja seorang diri. Emak bilang “harga beras disini mahal, bapak udah tua, udah enggak bisa kerja berat buat cari nafkah.”
Beruntung emak fasih berbahasa Indonesia, jadi kami bisa lancar ngobrolnya.
Emak juga bilang kalau beliau sering jadi kuli untuk cari nafkah. Mulai dari yang ringan sampai yang terberat. Demi Boni, Farid dan Ahmad, katanya.
Boni sudah masuk sekolah dasar. Walaupun sangat jauh, anak-anak  disini tidak ter-demotivasi  untuk tetap sekolah. Emak juga bilang sempat dapat BLT dari pemerintah, lalu uangnya emak gunakan untuk membeli alat tulis untuk Boni.
Semoga perbedaan ini tidak menjadikan adanya elitisme disini, amin.
Dan menurut cerita teman-teman yang sudah saya dengar, sebenarnya masih banyak sosok seperti emak.
Ironi kan ? Angka pertumbuhan ekonomi bagus, tapi kesenjangan dan kemiskinan juga marak.

(Sepertinya hati saya tertinggal di pucuk daun-daun cemara, dan jejak kaki saya yang pernah saya rendam di pinggiran kali yang tenang, dan ingatan yang saya simpan disebuah ceruk rengkah batu bata rumah, membuat saya ingin kembali lagi kesana)
Comments
0 Comments

0 comments:

Posting Komentar

 

KataKita Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos